BULETIN YPCS 2
Home Page Keluargaku

Tentang Daku

Ortuku

Album Foto

Kontak Daku

Link Favorit Daku

Campur Sari

Buku Tamu

YPCS 1

YPCS 2

YPCS 3

Putra Papaku1

Putra Papaku 2

Gambar-Gambar

Gallery 1

Gallery 2

Gallery 3


Dari Diskusi Kajian Institusi Kesenian Jawa

PERPADUAN PENTATONIS DAN DIATONIS
JADILAH CAMPURSARI

Diskusi Kajian Institusi Kesenian Jawa putaran kedua yang diselenggarakan TeMBI dan PPSK UGM mengambil topik "Fenomena Campursari". Manthous, seorang musisi Campursari hadir sebagai narasumber.

Campursari Bukan Barang Baru

Musik Campursari yang ngetrend di tengah pecinta musik di Jawa khususnya dan di Indonesia umumnya sebenarnya bukan jenis musik baru muncul dan merebak di akhir tahun 1990-an. Pada pertengahan tahun 1960-an sampai tahun 1970-an Campurasri sudah ada di tanah jawa. Campursari pada tahun-tahun itu, yang melakukan siaran di RRI Semarang dengan vokalisnya almarhum S. Dharmanto mendendangkan lagu-lagu langgam Jawa. Apa yang dilakukan oleh S.Dharmanto itu adalah menunjukan bahwa campursari pernah dikenal oleh masyarakat Jawa.

Dalam kaitan gamelan dan lagu Jawa, di tahun-tahun 1930-an, di kalangan gerejani mencoba menggabungkan lagu gereja dengan gamelan. Bahkan hingga sekarang perpaduan antara gamelan dan lagu gereja dan syair-syair Jawa masih bisa di jumpai.

Pertanyaan yang muncul adalah: Apakah perpaduan antara gamelan dan lagu gereja adalah bentuk dari Campursari?

Pada kasus ini, perpaduan yang terjadi bukan saling mengisi, tetapi gamelan mengiringi lagu-lagu gerejani yang menggunakan syair Jawa, tetapi nada intonasinya adalah barat. Jadi perpaduan antaran Jawa (timur) dan barat melalui gamelan dan lagu gerejani lebih sebagai upaya untuk mendekatkan kultur barat pada kultrur Jawa, sehingga tidak ada kaitan sama sekali dengan munculnya fenomena Campursari.

Mungkin bisa benar jika dikatakan bahwa Manthous adalah "awal" dari berkembangnya musik Campursari. Tetapi kalau Manthous adalah pencetus Campursari, tentu tidak, sebab dia juga mengakui almarhum S. Dharmanto. Apapun klaim yang diambil terhadap fenomena Campursari, yang lebih penting untuk dimengerti adalah, musik Campursari merebak di banyak tempat, sehingga menyebut musik Campursari tidak hanya Manthous, tetapi ada banyak yang bisa di tunjuk, Manthous adalah salah satu diantaranya. Kalaupun Manthous paling terkenal adalah perkara lain.

Yang menarik dari kehadiran Campursari Manthous adalah dia berawal dari "nakal". Artinya, Manthous mencoba "mengotak-atik" gamelan yang telah dikenal pakemnya untuk kemudian digabung dengan jenis musik elektrik yang latar belakangnya berbeda dengan gamelan. Dari "kenakalan" itulah muncul jenis musik yang sekarang dikenal dengan nama Campursari.

Tapi apakah hanya karena Manthous nakal sehingga "lahir" Campursari? Tentu saja tidak. Sebab Manthous telah malang melintang di dunia musik, termasuk menjadi player dari pub ke pub. Dari sejumlah pengamalam yang dia geluti dan kreativitas (atau kenakalan) apa yang sekarang dikenal dengan nama Campursari bergulir ke tengah publik.

Keberhasilan Manthous memang di dukung oleh hal-hal lain di luar kreativitas Manthous. Dukungan yang terpenting adalah industri rekaman, dan kemudian diteruskan melalui media. Artinya, Campursari bergulir begitu amat cepat ke tengah masyarakat dan diterima oleh mereka karena disebabkan banyak faktor, selain kehadirannya fenomenal serta didukung industri rekaman, ada ruang kosong yang menyebabkan tidak tumbuhnya jenis musik Keroncong dan kejenuhan terhadap musik pop. Dalam ruang kosong inilah, Campursari melalui Manthous mengisi dan ternyata publik menerimanya, maka bergulirlah bermacam musik Campursari yang bukan hanya Manthous.

Apakah "Jawa" Bisa Ditemukan Dalam Campursari?

Apa yang terpenting dari Campursari yang dalam bahasa jawa dikenal dengan istilah laras. Berpijak dari laras inilah perpaduan antara gamelan (pentatonis) musik elektrik semacam keybord (diatonis) bisa bertemu sehingga ngenake rasa.(Mengenakan rasa). Dari dua kata kunci inilah apa yang sekarang dikenal dengan nama Campursari menapaki hidupnya. Ketika orang melihat musik Campursari yang mengabaikan dua unsur dalam kultur Jawa biasanya musik Campursari tersebut hadir secara nekat. Sebab tidak setiap lagu bisa dicampursarikan, ketika group musik Campursari berani menyanyijkan apapun jenis lagu, pastilah Campursari seperti itu bukan jenis Campursari yang berangkat dari kultur Jawa.

Dari soal laras dan rasa itulah antara kedua jenis musik (gamelan dan elektrik) tidak ada yang paling dominan, dalam bahasa jawa dipangku, sebab jika gamelan mendominasi elektrik, apa yang disebut laras menjadi hilang, dan apa yang disebut sebagai ngenake rasa menjadi tak tercapai. Laras dalam bahasa politik kira-kira yang disebut sebagai demokrasi.

Melalui laras inilah kedua kultur yang berbeda (gamelan dan elektrik atau timur dan barat) sungguh-sungguh bertemu. Dia bertemu tidak lantaran di dalam satu ruang yang sama. Dia bertemu karena keduanya memang ingin mempunyai makna. Keduanya ingin bermakna. Dalam bahasa jawa ngenake rasa. Dari Campursari inilah orang bisa melihat, apabila kultur jawa terbuka terhadap kultur lain akan diterima oleh kelompok masyarakat yang lebih luas dan bukan hanya dari kalangan jawa sendiri.

Di dalam ruang yang amat terbuka ini, di mana lalu lintas informasi amat cepat sekali berpindah, jawa tidak boleh menutup diri, tetapi dia harus masuk dalam lalu lintas informasi yang memang tidak bisa dihindari kehadirannya.

Campursari bisa lahir? Kenapa tidak yang lain?


DI PENDAPA TMBI
Musisi Campursari Manthous yang telah dikenal luas oleh masyarakat, di Pendapa semakin membuktikan bahwa dirinya dan jenis musik Campursari amat dekat dengan masyarakat. Beralaskan tikar, ada juga yang berdiri dan duduk di atas rumput, sekitar 5000 orang melihat penampilan Manthous beserta group Campursarinya. Pendapa tidak mampu menampung jumlah penonton. Orang berjejal, ada yang naik di atas truk, ada yang naik di atas tembok pagar, ada yang rela hanya mendengarkan tanpa harus melihat pertunjukannya, tapi ada juga yang duduk di atas tikar sambil menikmati pertunjukan Manthous.

Sementara Manthous memakai surjan dan mondolan warna hijau, bercelana panjang warna hitam, berkacamata minus duduk di atas tikar di belakang Keybord, dan pemain lainnya masing-masing duduk di belakang jenis alat musik yang dipegang. Manthous nampak tersenyum-senyum sementara anggota groupnya sedang mengalunkan lagu-lagu Campursari.

Disebelah pojok di bawah pohon ada sekelompok anak muda berjoget mengikuti setiap irama lagu Campursari yang dialunkan. Dalam ruang yang amat sempit, tetapi tidak mengurangi kenikmatan dalam bergoyang. Di tempat lain lagi, di tengah kerumunan penonton, tiga orang anak muda berjoget seperti tanpa mempedulikan penonton disekitarnya.

Lagu dialunkan, tepuk gemuruh menggema. Suasana menjadi tambah hidup. Antara pemain dan penonton saling dekat, baik dalam jarak maupun dalam emosi: Ada yang ikut bernyanyi, ada yang ikut berjoget.

Dari mana penonton itu berdatangan?

Jika dilihat dari dua tempat parkir yang penuh, setidaknya bisa di baca bahwa penonton datang dari wilayah yang bukan hanya desa sekitar , tetapi dari tempat-tempat lain. Di dalam parkiran terdapat sepeda onthel yang cukup banyak, sepeda motor dan colt angkutan umum. Dari jenis transportasi yang diparkir bisa untuk mengerti, bahwa penonton sungguh meluangkan waktu untuk datang ke melihat Mathous.

Bersama Manthous menjadi terasa hidup. Selain ada banyak orang, ada banyak pedagang yang muncul. Antara orang dan kelompok pedagang menunjukan ada sirkulasi uang di sana. Dan ini artinya, hidup.

Mungkin muncul pertanyaan di mana Tembi dan apa itu ?

Tembi adalah nama dusun yang terletak di wilayah Bantul, Yogyakarta. Tepatnya, dusun Tembi, desa Timbulharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasinya ada di jalan Prangtritis Km 8,4. Di dusun Tembi inilah sebuah lembaga yang berbama di bawah naungan Yayasan Studi Kebudayan Jawa Yogyakarta terletak.

Manthous hadir di Pendapa lantaran ada interaksi antara lembaga dan maasyarakat.

Lalu apa yang bisa dimengerti dari kehadiran banyak orang ke ?

Bahwa sebagai ruang publik telah dipakai melakukan interaksi dan komui\nikasi antar masyarakat. Dari sini, sesungguhnya bukan ruang tertutup untuk kominikasi. Antara Ketoprak dan masyarakat, antara Manthous dan Campursarinya dan masyarakat adalah bentuk dari ruang terbuka itu.

Karena ruang terbuka, setiap ada moment yang dihadirkan di Pendapa , masyarakat dipersilahkan mengambil inisiatif untuk memanfaatkan. Dalam kasus pertunjukan Manthous misalnya, kelompok pemuda mengeloa parkir untuk kepentingan diri mereka sendri, ada anggota masyarakat yang membuka permainan ketangkasan dengan memasukkan lingkaran dalam botol fanta yang ada isinya, jika peserta mampu memasukan, artinya botol beserta rokok yang ada di dalam lingkaran menjadi miliknya. Inisiatif-inisiatif ekonomis seperti itu menunjukkan bahwa berguna bagi masyarakat sekitar.

Pertunjukan Mathous di Pendapa adalah apa yang disebut sebagai dari gerakan kebudayaan. Kegiatan kebudayaan yang tidak berkaitan secara langusung terhadap politik kekuasaan, tetapi memberikan kesegaran bagi masyarakat setempat, sehingga dari kesegaran di harapkan bisa berpikir jernih. Inilah kegiatan di : Menumbuhkan sikap berpikir jernih.

Ketika lagu terakhir usai dari Campursari Mathous, penonton dengan segera meninggalkan tempat dengan tenang tanpa ada kerusuhan. Sepanjang pertunjukan yang dimulai dari pukul 20.30 WIB dan berakhir pukul 23.30 WIB penonton damai, senang, bergembiara tanpa ada gejolak.

Pendapa sepi ketika penonton pada pulang. Tapi seperti ada sisa-sisa wajah penoton yang tertinggal. Mungkinkah sisa wajah tertinggal itu adalah pertanda bahwa mereka menunggu kegiatan yang lain. Semoga begitulah adanya.
Dari Keroncong ke Campursari
Ingat lagu Rek Ayo Rek akan ingat pula pada nama penyanyi langgam Jawa itu, Mus Mulyadi (56). Pria berkacamata dan berperawakan semampai tersebut saat ini sedang giat memopulerkan lagu campursari. Salah satu albumnya yang dikemas dalam irama campursari adalah Yo Embuh Yo (ciptaan Sugiono).

Album ini menampilkan 10 tembang Jawa dalam alunan musik campursari. Selain Yo Embuh Yo... sebagai lagu unggulan, ada tembang lainnya, yaitu Sembako (cipt. Paul Irama), Ho Sambo (Sugiono), Pari’ane Wong Urip (Paul Irama), Judeg Atine (Paul Irama), Siskamling (Paul Irama), Dagang Lungsuran (Harry V.H.), Elingo Kabeh (Dody), Klemar Klemer (Harry V.H) dan Podo Elingo (Kiswanto).

Musik campursari adalah genre baru dalam wacana musik kita. Campursari boleh dibilang perluasan dari tembang-tembang Jawa yang dikemas dalam iringan musik diatonik dan pentatonik. Tahun 1970-an, Mus Mulyadi pernah merekam lagu-lagu langgam Jawa dalam musik modern. Namun waktu itu belum populer apa yang dinamakan musik campursari. Salah satu di antarnaya adalah Nasipe Wong Ora Duwe (1979).

Musik campursari ini mengiringi perjalanan panjang sang ’’buaya keroncong’’ ini. Dia sempat berkolaborasi dengan musisi dan penyanyi campursari, Manhtouse dalam beberapa album, seperti Bengawan Solo, Kembang Aren dan duet dengan Waljinah dalam album Rondo Kempling.

Mus Mulyadi sendiri menganggap musik campursari sebagai trend. Apa yang muncul saat ini adalah bagian dari gerakan secara global untuk mencari celah-celah baru dalam dunia musik kita. Lalu ada percampuran antara musik diatonik dan pentatonik yang sekarang disebut campursari. ’’Meskipun hanya sekadar mode-modean, tidak bisa dianggap remeh. Karena ternyata sekarang perkembangannya sudah meluas sampai ke pelosok-pelosok desa. Musik campursari punya pasar bagus,’’ jelas Mus Mulyadi.

Tentang album Yo Embuh Yo yang dalam terjemahan bebasnya ’’Ya, Tidak Tahu’’ digarap dengan musik khas campursari yang mengandalkan tetabuhan kendang sebagai ekspresi kegembiraan. Terlepas dari syair yang dibawakannya, lagu campursari pada umumnya adalah lagu-lagu yang cukup terbuka dan enak untuk mengiring orang bergoyang.

Lagu-lagu itu, sengaja dia pesan dari sejumlah pencipta lagu yang memang sudah bergulat dengan tembang-tembang campursari. Ditilik dari syairnya, lagu-lagu itu merupakan ekspresi masyarakat bawah. Ada yang berbi-cara tentang keprihatinan karena harga-harga melambung tinggi pada tembang Sembako. Ada lagu pantun tentang kehidupan orang kecil seperti dalam lagu Pari’ane Wong Urip.

Mus Mulyadi dikenal sebagai penyanyi keroncong yang digelutinya sejak tahun 1970-an. Sebelumnya, dia sempat berkelana di Singapura sebelum akhirnya mencuat di dalam negeri sebagai penyanyi dengan keberanian melakukan terobosan baru dalam membawakan lagu-lagu keroncong konvensional dalam cengkok modern. Laki-laki kelahiran Surabaya pada 14 Agustus 1945 ini mengaku sudah mengeluarkan ratusan album, sampai-sampai dia tidak bisa menghitungnya. Beberpa lagu yang mencuatkan namanya di antarnaya Kota Solo, Dinda Bestari, Telomoyo, dan Jembatan Merah.

Sama dengan album-album Mus Mulyadi yang lain. Album ini selain dipasarkan di dalam negeri, direncanakan juga akan di bawa ke Suriname dan Belanda. Dua negara yang selama ini menjadi pasar potensial untuk lagu-lagu Jawa