BULETIN
YANG PENTING CAMPUR SARI
(YPCS)
Home Page Keluargaku

Tentang Daku

Ortuku

Album Foto

Kontak Daku

Link Favorit Daku

Campur Sari

Buku Tamu

YPCS 1

YPCS 2

YPCS 3

Putra Papaku1

Putra Papaku 2

Gambar-Gambar

Gallery 1

Gallery 2

Gallery 3


MERIAHKAN HARI JADI BANTUL Gayeng, Duet Ki Enthus dan Manthou's
BANTUL (YPCS) - Duet dalang Ki Enthus Susmono dari Tegal dan dedengkot campursari asal Gunungkidul, Manthou's, di Lapangan Trirenggo Bantul, Sabtu (28/7) malam, berlangsung meriah dan gayeng. Pergelaran wayang kulit dalam rangka peringatan Hari Jadi ke-170 Kabupaten Bantul ini dipadati ribuan penonton.
Pemunculan Ki Enthus yang membawakan lakon 'Sesaji Raja Suya' ini mampu memukau pengunjung. Terlebih, pembawaan Ki Enthus yang celelekan, mampu mensikapi secara kreatif dan berani menawar pakem pewayangan menjadikan pergelaran wayang kulit tersebut terasa 'hidup' dan dinamis. Iringan gamelannya yang rancak dan penuh inovasi membuat penonton betah melek. Terlebih diperkuat waranggana dengan cengkok variatif. Tak hanya bergaya Jawa, namun sesekali bernuansa khas Sunda.

Sejak pertama muncul, Ki Enthus langsung memperoleh aplaus meriah. Semua ini, karena dalang berambut gondrong itu menggebrak dengan sabetan-sabetan keras. Tak hanya itu, figur wayang yang ditampilkan juga beragam. Bahkan, tontonan anak yang lagi ngetop di televisi, Teletubbies ikut diparadekan. Karuan saja langsung mengundang tawa pengunjung, termasuk diantaranya anak-anak.
Sebelum Ki Enthus muncul, Campursari Gunungkidul pimpinan Manthou's lebih dulu menghibur masyarakat. Tembang-tembang khas campursari meluncur satu demi satu. Penonton pun hafal dan akrab dengan lagu-lagu yang dibawakan. Pemunculan Manthou's yang diperkuat pemain 'Obrolan Angkring' TVRI Yogya, Wisben tampil cukup komunikatif.
Duet Manthou's dan Ki Enthus terjadi saat limbukan. Dialog kedua seniman tersebut berlangsung meriah dan kocak. Apalagi ketika Ki Enthus, Manthou's dan Wisben saling ejek.
Pada kesempatan itu, Bupati Bantul, Drs HM Idham Samawi juga didaulat untuk menyanyi. Tak bisa menampik, Idham pun langsung naik panggung. "Saya modalnya nekad," ujar Idham sebelum mengalunkan lagu 'Sewu Kutha' yang biasa dibawakan Didi Kempot. Aplaus penonton maupun tamu undangan pun terdengar riuh saat Idham menyanyi. (W4W4N/B-80):-)


Moersa Yu Djum , Campursari-Congndut Dengan Primadona Penjual Gudeg
PEREMPUAN 34 tahun itu tetap dengan ramah melayani pembeli warungnya, Gudeg Yu Djum di Wijilan Yogya. Padahal ia sudah jadi penyanyi. Album perdananya, Koplo Get, yang mayoritas bercorak keroncong dangdut atawa congndut, lepas sudah dan bahkan siap disusul rekaman kedua yang oleh produser Hendrix RS akan beredar di Suriname.

Mulai 1997, Moersa S, penjual gudeg itu, sudah bercampursari-ria. Ibu yang kini telah melahirkan tiga anak itu, mendirikan CGYD, kependekan dari Campursari Gudeng Yu Djum. Alat musiknya beli satu persatu. Kemudian latihan dengan gigih. Sampai pada suatu hari, dimulailah persiapan untuk rekaman -tepatnya enam bulan-dan lahirlah album Koplo Get.
Tidak tanggung-tanggung : Moersa berduet dengan Didi Kempot.
“Ia punya power bagus. Dan benar-benar bisa menyanyikan lagu Jawa dengan baik. Tapi yang paling mengagumkan adalah semangatnya” komentar Didi Kempot tentang Moersa.
Ada apa di belakang duet Moersa-Didi?
Penyanyi Stasiun Balapan dan Sewu Kutha itu tengah mengkatrol penjual gudeg berwajah cakep ini?
“Rasanya salah jika saya dianggap dianggap mengkatrol Moersa. Sudah lama ia eksis dan namanya cukup dikenal” jawa Didi. “Kami kerja bareng. Mengeluarkan segala kemampuan dan keringat bersama juga. Selain itu, Moersa punya modal dan bakat”.
Best-cut rekaman perdana Koplo Get bertajuk Pengin Sing Dowo. Klipnya rutin muncul di TVRI dan SCTV. Apa komentar Anda? Di luar beat keroncong-dangdut, dalam paket ini juga muncul koplo, musik yang konon cukup populer di Jawa Timur.
Sensasi Campurdut Lebaran di GRIS, Sepi Penonton, Show Hari Kedua Dibatalkan
JARANG penggemar dangdut, campursari, dan wayang bisa menyaksikan Nurhana dan Ki Djoko Hadiwidjojo berduet melantunkan campursari atau lagu berirama dangdut. Namun Kamis siang kemarin (28/12) di Lapangan GRIS Pedurungan, Semarang, dalang dan sinden kenamaan itu tampil bareng melantunkan lagu ''Mas Joko''.

Lagu berirama campursari itu dinyanyikan dengan penuh penghayatan sehingga suami-istri itu tampak mesra, intim, dan harmonis. Djoko berjins dan kacamata hitam berkali-kali membelai punggung istrinya, sehingga penonton menyoraki ''roman melayu'' yang menghidupkan suasana panggung itu.

Sepinya penonton agaknya bisa dimaklumi. Pentas dangdut pada hari kedua Lebaran itu diadakan di berbagai tempat. Yakni Taman Lele, Taman Majapahit, dan di sejumlah panggung tiban di berbagai tempat hiburan.

Karena itulah meski ditonton sedikit orang, Hapsari (Himpunan Artis, Pemusik, dan Pencipta Lagu Campursari) Jateng dan DIY tetap bersemangat melantunkan lagu-lagu dangdut dan campursari.

Nurhana, misalnya, karena tampil atraktif membawakan lagu ''Sekuntum Mawar Merah'', didaulat menyanyikan beberapa lagu lagi bersama Manthou's.

Rod Stewart Jawa

Manthou's berhasil menyedot perhatian penonton ketika bersama Amik Sunyahni (adik Anik Sunyahni-Red) melantunkan ''Randa Kempling'' dan ''Sida Apa Ora''. Rod Stewart Jawa itu mengandalkan suara seraknya, sedangkan Amik meningkahi dengan senggakan-senggakan sensual.

''Ra isa karo mbakyune, ya nyanyi karo adhine,'' kata Manthou's yang pernah diisukan menikah dengan Anik Sunyahni.

Penyanyi lain yang tampil energik adalah pasangan Heri Irama dan Reny DS. Mereka menyanyikan ''Malam Terakhir''. Lagu yang dulu dipopulerkan Rhoma Irama dan Rita Sugiarto itu mereka nyanyikan dengan kompak, sehingga berhasil menggoyang penonton yang kepanasan di bawah terik matahari.

Soleh Akbar salah satu pelantun tembang campursari Semarang kali ini tampil dengan lagu ''Jane''. Lagu berirama India itu dia nyanyikan secara mendayu-dayu lengkap dengan goyang India.

Karena sambutan publik cukup responsif, Soleh menambah dua lagu lagi. Yakni ''Curi-curi'' dan ''Menangis''. ''Ini memang lagu lama, namun keindahannya tak kalah dari lagu-lagu masa kini,'' kata Soleh.

Persoalannya sekarang, mengapa pertunjukan yang diramaikan bintang-bintang campursari itu miskin penonton? ''Lokasi ini belum dikenal penonton. Lagi pula karcis terlalu mahal. Mosok nyaris Rp 5.000,'' kata Djito Patiatmodjo, salah satu panitia.

''Yang kami pentingkan saat ini sosialisasi Hapsari dan lokasi ini. Ternyata penonton belum terbiasa menyaksikan pertunjukan di tempat ini,'' kata Ki Djoko Hadiwidjojo selaku Ketua.

Sesungguhnya jika dilihat dari materi pertunjukan dan kemegahan panggung, pertunjukan itu bukan pergelaran sembarangan. Didukung peralatan suara memadai dan kesiapan para artis, tontonan berdana besar itu layak mendapat pujian. ''Sayang, hari ini sepi. Apa boleh buat,'' kata dia.

Karena itulah akhirnya panitia tak jadi melanjutkan acara sampai hari ini. ''Semula kami ingin pentas pada 28 dan 29 Desember. Karena sepi pertunjukan hari ini kami batalkan,'' kata Djito

TIWUK WIDAYANTI Dari Model ke Campursari
PUTERI Solo ini namanya Tiwuk Widayanti. Ia kelahiran 8 Desember 1984. Selain dikenal sebagai model, ia juga seorang penyanyi. Lebih khusus lagi penyanyi campursari. Menjadi penyanyi memang menjadi cita-citanya sejak awal. Tapi tidak menutup kemungkinan ia pun menekuni bidang lain.

“Kegiatan modeling sudah saya tekuni sejak kelas tiga SMP hingga sekarang. Saya ikut ABG Model Agency,” kata Tiwuk yang kini kelas III Jurusan IPS SMU 6 Solo. Awalnya, ia pun ikut berbagai lomba. “Tapi sekarang saya harus selektif ikut lomba. Habis banyak yang nggak murni sih,” katanya lagi.
Gadis bertinggi berat, 165 senti-51 kilo ini, antara lain pernah meraih Super Model Jateng-DIY, Unggulan Top Guest Aneka, Unggulan Cover Girl Aneka, Finalis Keren Beken 2000 Aneka.
Sekian tahun menekuni modeling, Tiwuk yang punya hobi JJS, renang dan foto ini, memang cukup kenyang pengalaman. Itu sebabnya, ia menolak jika kegiatan modeling dikatakan sebagai kegiatan hura-hura. “Ah, itu nggak benar. Tergantung pribadi masing-masing. Kalau saya suka yang wajar-wajar saja. Bagaimanapun ada batas norma, etika, berteman dan pergaulan,” kata penggemar Ratih Sang ini. Putri keluarga Sitiyatmi dan Hadi M ini, selain sekolah tentunya, sehari-hari sibuk berlatih modeling, juga kursus bahasa Inggris dan aktif di OSIS.
Omong-omong soal cowok, bagaimana? “Saya suka banget sama cowok yang atletis, seperti Donny Kusuma gitu. Tapi saya suka sebel sama cowok buaya,” kata Tiwuk yang doyan banget ayam bakar ini.
Tentang hobinya di dunia tarik suara, Tiwuk barusan menyelesaikan album perdananya. Bagaimana ceritanya ia bisa masuk studio rekam? Katanya, suatu ketika Tiwuk diminta nyanyi di sebuah acara. Padahal, waktu itu sebenarnya ia hanya ingin hadir saja. Eh, nggak tahunya malah diminta ikut nyanyi. Jadilah ia membawakan lagu ‘Yang Kumau’ yang biasa ditembangkan Kris Dayanti.
Dari situ, tidak diduga ada seseorang yang menawarinya untuk membawakan lagu-lagu campursari. Maka, jadilah ia penyanyi campursari sekarang. Ada 5 lagu yang dibawakan Tiwuk di album itu, ‘Sing Sing So’, ‘Tanpa Sliramu’, ‘Setiti’, ‘Terus Terang’ dan ‘Pengin Ketemu’.(Dian)
LILIS DIANA
Dari Irama Pop menyeberang ke Tembang Dangdut

MENYEBERANG jalur? Memang benar, seperti diakui oleh penyanyi Lilis Diana yang kini memulai babak baru menekuni genre dangdut. Setelah malang-melintang di dunia tarik suara selama 15 tahun lewat irama pop, cewek kelahiran Jepara, 21 September 1972 ini sekarang tengah serius membawakan tembang dangdut dengan merilis album terbarunya, Pesona Cinta.

"Saya pikir, dangdut juga cocok dengan karakter suara saya. Perpindahan dari pop Jawa ke dangdut tak mengalami kesulitan berarti, karena pengalaman rekaman dan pentas saya selama ini sangat membantu," jelas pemilik ukuran tubuh 1,58 m dan bobot 43 kg.

Talenta Lilis di bidang nyanyi telah diwujudkan sejak duduk di bangku SLTP di kota kelahirannya Jepara. Bungsu dari tiga bersaudara pasangan A.C. Zoedi dan Rochmatun itu mengaku bakat seninya diwarisi dari sang ayah yang pernah berprofesi sebagai penyiar radio dan pimpinan Orkes Keroncong Gema Puspita.

Lilis yang kini bertekad bulat menempuh kariernya di ibukota, sejak remaja memang sudah bergelut dengan dunia seni. Kegemarannya menari Bondan, Golek, dan tarian Merak, serta mengawali tarik suara lewat irama pop hingga merambah irama keroncong dan campursari.

Debutnya di bidang rekaman lagu-lagu tersebut, diantaranya tampil dalam sejumlah album bersama Mus Mulyadi dan Manthou's dalam album Pop Jawa, Thiwul Gunung Kidul. Juga sempat tampil sebagai nominee peraih Anugerah Musik Indonesia 1999. Tahun lalu bersama Manthou's kembali merilis album Top Hits Jawa, Sing Paling Penak.

Pengalaman berkolaborasi dengan penyanyi-penyanyi ternama itulah yang mendorong Lilis memulai pilihan baru di blantika dangdut. "Saya sangat yakin, musik dangdut akan mampu terus menambah jumlah penggemar di semua strata sosial masyarakat Indonesia. Perlu diakui, kini dangdut bukan lagi musik kampungan, tapi sudah punya kelas tersendiri," demikian ungkapnya dengan nada serius. (03).



Koko Thole Modernisasi Campursari Harus Total!
“JIKA banyak orang menganggap campursari hanya modernisasi kulit, itu salah besar” kata Koko Thole (41), yang mengaku melakukan survei (di Jakarta) dan menemukan segmen pendengar campursari sudah masyarakat atas, lalu disebutnya : pengusaha, walikota, dan pekerja asing di Indonesia.
“Lagu-lagu Didi Kempot itu sudah modernisasi isi” lanjut seniman asal Magelang yang pernah kuliah di IKIP Yogyakarta, mencipta lebih 100 lagu, menata musik 200-an sinetr, dan di masa mudanya sering juara tari Jawa.

“Tapi meskipun begitu saya masih ingin mengangkat campursari ke tingkat yang lebih baik lagi” ujar perekam album Murwakala, yang menurutnya merupakan campursari rock etnik berkolaborasi dengan gitaris Totok Tewel.
“Masyarakat menengah atas yang sudah dijangkau musik campursari adalah pasar yang masih harus terus digarap. Termasuk di sini penggarapan promosi dan marketingnya. Harus lebih profesional” tambah penyanyi dan pemusik yang melihat banyak artis selama ini bersikap masabodoh terhadap albumnya sendiri.
“Saya juga begitu ketika merilis album-album sebelumnya. Yang terakhir ini saya berusaha dari memilih lagu, menggarap musik, pembuatan sampul kaset, sampai pada pemasarannya. Saya tidak mau gambling lagi” lanjut seniman yang baru Mei kemarin dianugerahi seorang puteri hasil pernikahannya dengan gadis Jakarta.
Murwakala-nya Koko Thole di samping penuh hentakan musik, liriknya gado-gado. Bahasa Jawa dicampur Indonesia diselipi Bahasa Inggris. “Saya berkeinginan campursari mendunia. Artinya dikenal dan disukai oleh masyarakat internasional, seperti halnya gamelan yang sudah sukses mendunia lebih dulu” kata pria optimis dan percaya diri itu.
Lebih 20 sinetron —atau 100-an judul— pernah ia libati sebagai pemeran. Hasilnya? Antaralain dua kali Koko Thole masuk nominasi Pemeran Pembantu Terbaik). Pengalaman pemusik, pencipta lagu dan penyanyi ini memang sarat. Pernah juara karawitan, juara cipta tembang Jawa, juara macapat, juara perorangan rally ngamen, apa lagi?
Dengan berbekal kesenian komplet itu ia terjun ke musik campursari yang slendro-pelog mayor-minor.
Kita tunggu hasilnya!
Rosa, Campursari Tebe-Tebe
TAHUKAH anda, lagu-lagu campursari ciptaan Manthous seperti Kempling, Kangen, Gethuk, Tahu Opo Tempe, Nginang Karo Ngilo, Mbah Dukun dsb itu bisa untuk mengiringi Tebe-Tebe? Paling tidak, ini angsuran Manthous dan CSGK-nya. Lewat Boulevard Indonesia, mereka menerbitkan satu kaset Senam Tebe-Tebe berisi selusin lagu campursari ciptaan Manthous. Penyanyinya empat, Tejo, Nining Wibisono, Pur Bonsai dan Rosa.

Senin pekan lalu, penyanyi yang kita sebut terakhir, Rosalia Anggraeni, ‘dolan’ ke Minggu Pagi.
“Awalnya saya penyanyi pop. Lalu coba-coba campursari. Ternyata enak juga” kata janda dua anak bersuara bagus, yang sudah sekitar enam kali terlibat di show CSGK itu.
Sehari-hari Rosa di Asuransi Bumi Putera. Ibu dua anak —Novanoa (15) dan Viki (4)— ini suka menyanyi sejak kecil. Sering ikut lomba dan terakhir gabung kelompok campursari Laras Mudho pimpinan Krisno Wibowo di Jeruksari Wonosari Gunungkidul.
‘Markas’ Laras Mudho tak begitu jauh dari tempat tinggal Rosa, di Sumbermulyo Kepek Wonosari. Maka bukan sulit bagi perempuan kelahiran 5 Juli 1968 itu wira-wiri latihan setelah rampung bekerja dan mengurus anak sendirian, sepeninggal suaminya Anton Winarno beberapa bulan lalu.
“Tidak mudah lho, nyanyi campursari. Cengkoknya itu beda dengan jika kita menyanyi pop” kata perempuan enerjetik itu.
Lalu, tentang campursari tebe-tebe?
“Melihat larisnya kaset perdana saya ini, sepertinya cocok, campursari untuk mengiringi tari pergaulan itu” jawab puteri kelima dari sembilan bersaudara pasangan RA Sunu Kodratulah Tejomartoyo-MM Suparmi itu

Lusiana Dewi, Ternyata Banyak Penyanyi Dangdut Tergoda Gabung Grup Campursari Apa Masalahnya?
AWALNYA coba-coba. Ternyata enak juga. Itu mungkin yang dirasakan sejumlah penyanyi dangdut daerah -termasuk Yogya-yang banting setir ke campursari. Awalnya iseng-iseng. Lalu terasa betapa enaknya campursari katimbang dangdut. Misalnya : massa penontonnya lebih “lunak”, sehingga tantangan di atas panggung tidak berat-berat amat. Di samping itu, banyak lagu campursari naik daun di ujung dasawarsa 90-an itu, sehingga pentas “dangdut gamelan” ini dijubeli penonton. Walhasil, frekuensi pentas tinggi, sehingga secara komersial campursari itu lebih menguntungkan.

Pertimbangan lain, “inflasi” penyanyi baru di panggung dangdut semakin edan-edanan. Siswi-siswi SMP pun siap bersaing menyingkirkan penyanyi-penyanyi senior. “Watak” audiens musik outdoor yang disarati goyang ini -tempo lalu-memang lebih ke tampilan fisik sang-biduanita, katimbang substansi musiknya. Maka memunculkan artis-artis belia menjadi tren di sejumlah grup, itu waktu. Sehingga tak bisa disalahkan jika sejumlah penyanyi senior pilih masuk kafe, pensiun, atau lompat pagar ke jenis musik lain. Dan untuk pilihan terakhir, jarak terdekat dengan dangdut adalah campursari.
Lusiana Dewi termasuk penyanyi dangdut yang lama tak manggung di Purawisata Yogya. Ia lebih sering muncul di pentas campursari bersama Grup Jampi Stress. “Penampilan saya malam ini semoga bisa mengobati rindu, sekaligus juga untuk bernostalgia” kata mbakyu kandung Syakuntala Dewi itu, saat bersama Moersa, Nining Wibisono dan Poer Bonsai tampil di Purawisata diiringi OM Jogja Nada.
Banyak penyanyi dangdut yang belok ke campursari lalu merasakan rindu. Ternyata, setelah lama tidak dangdutan, terasa bahwa musik gangga ini lebih bebas, lebih apa adanya, lebih spontan, dan....seksi!
Kalau Menikah (Lagi), Wisben Nanggap Parade Campursari
PELAWAK Yogya ini lama tak muncul. Ke mana Wisben? “Saya sering di Jakarta. Jadi MC Campursarinya Mas Manthous” jawabnya. Kemunculannya di TVRI Yogya saat syuting Obrolan Angkring mengagetkan teman-temannya. Siapa gadis manis yang digandeng pelawak tambun itu? Siapa, Ben.? “Dia calon isteri saya. Kami akan menikah Oktober tahun ini” jawabnya. Guyon atau serius? Tapi ujarnya, sesudah lima bulan menduda, Wisben melamar Windhy Puspa Sari, gadis manis yang digandengnya itu, kepada orangtuanya di Dusun Mlati Beningan Sinduadi Mlati Sleman. Tepatnya 6 Mei lalu.

Rembug Tuwa sudah jalan. Rencana nikah Oktober 2001. Bahkan acaranya pun konon sudah disusun, menurut Wisben : parade campursari, parade MC, jatilan, lalu...malam pertama?
“Tidak ada malam pertama” potong calon pengantin pria. “Yang ada malam selanjutnya” lalu pelawak itu ngakak.
“Saya melamar Windhy karena sudah tidak kuat lagi” lanjut pria bernama lengkap Wisben Antoro itu. Tidak kuat apa, Ben?
Menurutnya, selama sendirian banyak godaan datang. Agar tak terjerumus ke hal yang tak sepantasnya dilakukan, Wisben memilih kawin lagi.
Siapa Windhy?
Mereka ketemu di bus. Duduknya bersebelahan. Lalu Wisben menggoda gadis manis itu. Lalu saling tukar kartu nama. Dasar Wisben, seminggu setelah itu ia apel. Dan Windhy, yang pada mulanya biasa-biasa saja, akhirnya pun mengaku timbul greng.
“Sebetulnya Windhy mau itu karena kasihan melihat saya datang terus menerus dengan muka memelas” kata Wisben.
“Enggak ding. Saya cinta Mas Wisben karena dia baik, lucu, bisa membimbing dan ngemong. Dia bisa berperan sebagai bapak” kata Windhy.
Berapa sih, jarak usia mereka?
Wisben 33. Windhy 21

Sudah Saatnya Kita Menggagas Multi-Tone
Dipicu munculnya musik-musik kolaborasi, paduan alat-alat musik dengan laras yang berbeda, termasuk dalam hal ini merebaknya grup-grup campursari, ternyata kita semakin tak berdaya jika terus berkeinginan meluruskan hal-hal bengkok dalam soal perkawinan nada. Maka, satu alternatif yang sudah saatnya ditawarkan, adalah : Sistem serba-nada. Multi-tone” kata Didied Van Doning, Ketua Umum Lembaga Musik Indonesia.

TAHUN 1700-an Debussy datang ke Jawa. Mungkin ia takjub mendengar slendro. Maka diciptakanlah whole-tone, sistem nada dengan frekuensi serta interval yang berbeda dengan musik diatonik.
Pada perkembangan sejauh ini, kita menemukan banyak musik etnik yang —akibat pengaruh globalisasi- musik berjenis-jenis itu kemudian ‘menikah’ dalam satu karya. Padahal, disiplin nada mereka berbeda.
Yang sederhana saja : Di sekitar kita muncul banyak grup campursari. Di mana gamelan ‘dipaksa’ jalan bareng dengan alat-alat musik Barat. Saya juga pernah diminta menggabungkan campursari dengan harpa, keinginan itu dicetuskan oleh seorang seniman kolaboratoris Jawa Barat yang basic-nya gamelan Sunda.
Yaa, marilah kita berhitung-hitung.
Antar gamelan saja larasnya bisa berlainan. Apalagi dibanding piano, gitar, biola yang sudah distandarisasi sejak zaman Johan Sbastian Bach.
Gamelan diatonis pun masih bisa dipengaruhi cuaca. Maka bukan main tak gampangnya menyetem alat musik pukul berbahan logam itu. Dikerok, ditempa, atau ditambal? Berbeda dengan piranti musik Barat yang kebanyakan dengan dawai, sehingga untuk mengatur tinggi-rendah suaranya tinggal putar untuk mengendurkan atau mengencangkan snar itu.
Belum lagi kita bicara interval nada atau jarak antar-nada yang berbeda-beda antara sistem yang berlainan itu. Maka, mengawinkan alat musik dengan latar-belakang budaya yang tak sama, tidaklah sesederhana menikahkan sepasang manusia berbeda suku tapi dengan kompromitas “tresna marga kulina”. Sekarang tak kenal apalagi cinta, tapi kelak jika punya anak kan harmonis juga mereka.
Saya menghitung ada 140-253 nada setelah saya mengamati beberapa musik etnik dari Jawa sampai India dan Eropa-Amerika. Mengapa tidak kita sistemkan ini menjadi satu tangga nada?
Tentusaja jarak antar-nada -atau swarantara dalam istilah Jawanya — mepet sekali. Mungkin telinga kita tak akan sempat menangkap selisih nada satu dengan nada berikutnya. Tapi inilah alternatif terakhir menurut saya. Karena telanjur sulit kita meluruskan sesuatu yang selama ini bengkok, karena masing-masing budaya akan berpendapat bahwa miliknyalah yang lebih lempang dibanding milik orang lain.


SRAGEN- Benarkah pesinden tenar Anik Sunyahni dan Amik Dita Saraswati berdamai? Secara faktual kemungkinan belum. Sebab, baik Sunyahni maupun Amik belum tampak rukun seperti kakak-adik. Tapi pihak keluarga menganggap perseteruan mereka sudah usai. ''Hanya menunggu waktu, mereka pasti bisa rukun,'' tutur seorang keluarganya.

Yang menyatakan percekcokan itu rampung tak lain Atmowiyono (70) dan Ny Jaikem (62), orang tua Sunyahni dan Amik DS. Rapat keluarga di rumah makan Sulani di tepi jalan raya Sragen-Ngawi Km 7, tepatnya di Ngrampal, Sragen Rabu (28/3) petang, secara khusus membicarakan persoalan Amik-Sunyahni yang tak kunjung usai. Sulani, pesinden tenar yang memfasilitasi pertemuan keluarga itu, tak lain kakak Sunyahni dan Suyatni.

''Jangan bertengkar lagi. Kami sekeluarga menginginkan ketenangan,'' pinta Atmowiyono dengan wajah menahan haru. Ny Jaikem pun menyatakan girang atas keputusan rapat keluarga. Dia berharap kakak-beradik itu tidak lagi ''perang'' lewat koran. Meski Sunyahni juga pulang ke Sragen, dia tak menghadiri pertemuan.

Minta Maaf

Upaya mendinginkan suasana juga disikapi Amik DS. Amik didampingi Jatmiko, suaminya, tak keberatan bertemu kakaknya untuk meminta maaf. Namun hal itu tergantung pada sikap kakaknya, mau tidak menerima permintaan maafnya. Niat Amik menimbulkan keharuan.

''Sebagai adik, sewajarnya saya mendahului meminta maaf. Itu saya lakukan demi keutuhan keluarga dan permintaan kedua orang tua. Sebab, keluarga kami menginginkan ketenangan,'' tutur penyanyi kelahiran Sragen 21 Mei l974 itu.

Amik yang kini digandeng Manthou's dan menelurkan album Sakit Rindu pernah disangkal Sunyahni sebagai adiknya. Persoalan muncul ketika ada sponsor mengajak Didi Kempot, Amik DS, dan Sentot pentas di Blora. Saat pementasan, penonton mengelu-elukan Amik sebagai Sunyahni.

Diduga panitia keliru mempromosikan Amik sebagai Sunyahni. Karena persoalan itu Sunyahni komplain dan merasa dirugikan berkaitan dengan pementasan di kota kayu jati itu (Suara Merdeka 16/1). Dan, dia tak mengakui Amik sebagai adiknya.(




Update terakhir 3 Nopember 2000 10:30 WIB